Ketika Materialis Mengepung Keluarga Muslim

  Jumat, 08/04/2011

Menjelang akhir perjalanan hidupnya, Nabi Ya’qub a.s. mengumpulkan anak-anaknya. Mereka berkumpul mengelilingi ayah tercintanya untuk mendengarkan wasiat terakhir. Saat itu, bukan soal rumah, tanah, tabungan, atau vila yang disebut ayah dari nabi Yusuf a.s. ini. Tapi, tauhid kepada Allah swt.

Allah swt. mengabadikan peristiwa itu dalam firman-Nya di surah Al-Baqarah ayat 133.

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Apakah kalian menyaksikan tatkala Nabi Ya’qub kedatangan tanda kematian, dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apakah yang kalian sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, yakni Tuhan yang Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.”

Yang disebut Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya adalah ‘maa ta’buduna min ba’di?’, bukan ‘maa ta’kuluna min ba’di?’ Atau apa yang akan kalian sembah sepeninggalku nanti, dan bukan apa yang akan kalian makan setelah aku meninggal nanti?

Di saat momen perpisahan untuk selamanya itu, Nabi Ya’qub ingin memastikan suatu hal yang paling ia khawatiri dari kehidupan kelak anak-anaknya. Yaitu, apa yang akan anak-anaknya sembah. Ia juga ingin memastikan bahwa apa yang selama ini ia ajarkan kepada anak-anaknya benar-benar berdampak kuat hingga ia meninggal dunia.

Keluarga muslim saat ini

Setelah berlalu generasi para nabi, sahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain, para salaf, sampailah di generasi umat Islam saat ini. Keluarga muslim yang tidak terlindungi oleh kepemimpinan dan kekuasaan Islam. Keluarga muslim yang berada di negeri sekuler, dan menjadi incaran pembusukan musuh-musuh Islam.

Umumnya yang dipikirkan dan dirisaukan para orang tua di saat akan berpisah dengan anak-anaknya, tak jauh dari soal harta. Istilah masa depan yang dipahami umumnya para orang tua buat anak-anaknya hanya terbatas masa depan di dunia ini saja. “Apa mereka bisa hidup enak? Apa mereka akan punya karir yang baik? Apa mereka akan punya rumah bagus?” Dan sebagainya.

Orang tua muslim saat ini kurang peduli apakah anak-anak mereka sudah mampu memahami Alquran yang menjadi pedoman hidup muslim. Bahkan, di antara mereka lebih khawatir anak-anak tidak bisa berbahasa Inggris daripada tidak bisa membaca Alquran.

Bahkan mungkin, ketika orang tua mereka meninggal dunia, anak-anak yang masih muslim ini bingung bagaimana cara mengurus jenazah orang tua mereka. Karena yang mereka peroleh dari orang tua mereka, tak jauh dari materi dan kenikmatan hidup.

Perhatikan beberapa hal dalam sebuah keluarga muslim ketika mengalami penurunan keislaman mereka. Ada pelunturan nama yang diberikan kepada anak-anak mereka. Mereka tidak lagi memilih nama-nama yang islami, melainkan sekadar panggilan biasa. Begitu pun dalam busana. Perhatikan ketika tiga generasi bertemu dalam satu momen: nenek, ibu, dan anak. Sang nenek mengenakan busana muslimah, si ibu tidak lagi mengenakan kerudung, dan sang anak tanpa ragu berbusana minim.

Allah mengisyaratkan kejadian seperti ini dalam firman-Nya. Firman Allah swt. dalam surah Maryam ayat 59.

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”

Serangan Musuh Sudah di Rumah Kita

Satu hal yang kerap terlupakan di keluarga muslim saat ini adalah umat Islam khususnya di Indonesia merasa sudah merdeka dan tak ada lagi peperangan yang patut dirisaukan. Padahal, tidak semua peperangan selalu dalam bentuk fisik. Ada peperangan dalam bentuk pemikiran, budaya, dan ekonomi.

Allah swt. mengingatkan kita dengan ketidakridhaan orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk selalu berupaya agar umat Islam kehilangan jatidiri, hingga murtad atau keluar dari Islam. Firman Allah swt dalam Surah Al-Baqarah ayat 120.

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka….”

Dari ayat ini tergambar bahwa pihak yang selalu memusuhi adalah dari golongan Yahudi dan Nasrani. Berbagai cara mereka lakukan dengan begitu halus, dengan kemasan kurikulum, hiburan, sinetron, film, bahkan aturan penampilan para pekerja. Dan semua serangan itu bermuara pada satu titik: keluarga.

Kita bisa menghitung secara kritis berapa persen dari tayangan televisi yang begitu akrab dengan anak-anak kita yang sejalan dengan tuntunan agama Islam. Dan berapa persen yang tidak sejalan, bahkan berisi ajakan untuk melawan ajaran Islam.

Perhatikanlah wajah sinetron yang akrab dengan dunia ibu-ibu dan remaja. Berapa persen dari isi tayangan itu yang pemain dan alur ceritanya menggambarkan mereka shalat, berbusana menutup aurat, mengungkapkan ekspresi tubuh ketika berkomunikasi, dan sebagainya.

Dari sini, tanpa disadari, sebetulnya keluarga muslim sedang dikondisikan untuk akrab dengan kebiasaan atau budaya non muslim. Mereka tidak pernah ‘menyentuh’ shalat, Alquran, dan busana muslim. Kalau dosis racun itu kian berbobot, bisa dibayangkan seperti apa sosok generasi penerus muslim negeri ini kelak.

Kalau kita lebih teliti lagi, semua tayangan televisi yang sangat diminati anggota keluarga adalah pada waktu antara Maghrib dan Isya. Waktu inilah yang mereka ‘rebut’ dari keluarga kita yang sedianya dimanfaatkan untuk ibadah dan mengkaji Alquran.

Perhatikanlah, siapa produser tayangan-tayangan menyesatkan itu. Mungkinkah itu hanya sekadar ‘jualan’ hiburan saja. Dan perhatikan pula, apa pengaruh yang bisa dirasakan dari anak-anak kita.

Ini baru satu sisi dari sisi yang bernama televisi. Belum sisi lain dengan media yang berbeda. Antara lain, internet dengan situs favoritnya, Facebook, game online, dan lain-lain. Begitu pun dengan tawaran media komunikasi seperti handphone yang tidak lagi sebagai alat komunikasi. Tapi, sudah menjadi media segala hal, termasuk hiburan.

Dari alat komunikasi yang canggih ini, jika disalahgunakan, bisa berpeluang besar menjadi media khalwat atau dua-duaan antara pria dan wanita. Bukan hanya para remaja, tapi juga ayah dan ibu.

Di antara pintu yang menyebabkan orang masuk pada perzinahan adalah komunikasi yang tanpa batas antara lawan jenis. Awalnya mungkin terkesan normal, karena hubungan kerja, hubungan belajar untuk anak-anak; tapi hal itu bisa berkembang menjadi media yang menggiring orang kepada tindak perzinahan.

Islam tidak mengharamkan segala fasilitas hidup berupa teknologi canggih. Tapi dengan prinsip: kita yang mengendalikan alat, dan bukan alat yang akhirnya mengendalikan kita.

Tinggalkan komentar